Table Of Contents

bibit lama separatisisme ancam keutuhan NKRI

1.Gerakan Aceh Merdeka atau GAM
Sebuah organisasi yang memiliki tujuan supaya daerah Aceh atau yang sekarang secara resmi disebut Nanggroe Aceh Darussalam lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik Dantara kedua pihak yang diakibatkan perbedaan keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan jatuhnya sekitar 15.000 korban jiwa. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF).
GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro yang sekarang bermukim di Swedia dan berkewarganegaraan Swedia. Pada 27 Februari 2005, pihak GAM dan pemerintah Indonesia memulai tahap perundingan di Vantaa, Finlandia. Mantan presiden Finlandia Martti Ahtisaari berperan sebagai fasilitator.
Pada 17 Juli 2005, setelah perundingan selama 25 hari, tim perunding Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Vantaa, Helsinki, Finlandia. Penandatanganan nota kesepakatan damai dilangsungkan pada 15 Agustus 2005. Proses perdamaian selanjutnya dipantau oleh sebuah tim yang bernama Aceh Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan lima negara ASEAN dan beberapa negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Di antara poin pentingnya adalah bahwa pemerintah Indonesia akan turut memfasilitasi pembentukan partai politik lokal di Aceh dan pemberian amnesti bagi anggota GAM.
Seluruh senjata GAM yang mencapai 840 pucuk selesai diserahkan kepada AMM pada 19 Desember 2005. Kemudian pada 27 Desember, GAM melalui juru bicara militernya, Sofyan Daud, menyatakan bahwa sayap militer mereka telah dibubarkan secara formal.


2.Forum Komunikasi Masyarakat Sunda Nusantara (FKMSN)
Gerakan yang dituduh makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kelompoknya tidak mengakui kedaulatan Pemerintah Republik Indonesia, Pancasila, bendera, bahasa, lagu kebangsaan Indonesia Raya, dan UUD 1945. Ketua Umum FKMSN adalah Ahmad Suja’i, yang berasal dari Bogor. FKMSN mengklaim bahwa Sunda Nusantara sudah berdiri pada tahun 130 Masehi dengan pusat kerajaan di Ujung Kulon dan wilayah kekuasaannya mencakup seluruh Asia Tenggara. Tentu saja klaim ini tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Pada bulan Mei 2006, kelompok ini telah ditangani oleh Polri, dan sejumlah anggotanya ditangkap.Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI) Darul Islam artinya Rumah Islam, adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (12 Sjawal 1368) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di di desa Cisampah, kecamatan Ciawiligar, kawedanan Cisayong Tasikmalaya, Jawa Barat.
Gerakan ini bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa “Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam”, lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa “Negara berdasarkan Islam” dan “Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits”. Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk memproduk undang-undang yang berlandaskan syari’at Islam.
Dalam perkembangannya, DI menyebarkan hingga di beberapa wilayah, di antaranya DI/TII Jawa Barat, DI/TII Jawa Tengah, DI/TII Sulawesi Selatan, DI/TII Kalimantan Selatan, dan DI/TII Aceh.
Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini menjadi terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia.

3.Organisasi Papua Merdeka (OPM)
Sebuah gerakan nasionalis yang didirikan tahun 1965 yang bertujuan untuk mewujudkan kemerdekaan bagian barat pulau Papua (yang lazim disebut Papua Barat) dari pemerintahan Indonesia. Sebelum era reformasi, provinsi yang sekarang terdiri atas Papua dan Irian Jaya Barat ini dipanggil dengan nama Irian Jaya.
Pada tanggal 1 Juli 1971, Oom Nicolas Jouwe dan dua komandan OPM yang lain, Seth Jafeth Raemkorem dan Jacob Hendrik Prai menaikkan bendera Bintang Fajar dan memproklamasikan berdirinya Republik Papua Barat. Namun republik ini berumur pendek karena segera ditumpas oleh militer Indonesia di bawah perintah Presiden Soeharto.
Tahun 1982 Dewan Revolusioner OPM didirikan dimana tujuan dewan tersebut adalah menggalang dukungan masyarakat internasional untuk mendukung kemerdekaan wilayah tersebut. Mereka mencari dukungan antara lain melalui PBB, GNB, Forum Pasifik Selatan, dan ASEAN.
4.Republik Maluku Selatan
Adalah negara yang didirikan dengan maksud untuk memisahkan diri dari NKRI. Didirikan di sebelah selatan kepulauan Maluku, Indonesia pada tanggal 25 April 1950 dengan pimpinan antara lain:
Presiden: J.H. Manuhutu (hingga 3 Mei 1950)
Perdana Menteri: Albert Wairisal
Menteri Luar Negeri: Mr. Dr. Chr. R. S. Soumokil (sejak 3 Mei 1950)
Menteri Pendidikan: Johan Manusama (selama dua bulan, belakangan juga menjabat Menteri Pertahanan)
Pemberontakan ini berhasil digagalkan secara tuntas pada bulan November 1950, sementara para pemimpin RMS mengasingkan diri ke Belanda. Pada 1951 sekitar 4.000 orang Maluku Selatan, tentara KNIL beserta keluarganya (jumlah keseluruhannya sekitar 12.500 orang), melarikan diri ke Belanda, yang saat itu diyakini hanya untuk sementara saja.
Pemimpin pertama RMS dalam pengasingan di Belanda adalah Prof. Johan Manusama dan kini Frans Tutuhatunewa. Dr. Soumokil mengasingkan diri ke Pulau Seram. Ia ditangkap di Seram pada 2 Desember 1962, dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer, dan dilaksanakan di Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 12 April 1966.
Sekarang, hanya sekelompok kecil masyarakat yang mempunyai hubungan keluarga dengan para pengungsi RMS di Belanda yang terus memberikan dukungan, sedangkan mayoritas masyarakat Maluku melihat peristiwa pemberontakan RMS sebagai masa lalu yang suram dan ancaman bagi perkembangan kedamaian dan keharmonisan serta upaya pemulihan setelah perisitiwa kerusuhan Ambon.
Pada saat kerusuhan Ambon yang terjadi antara 1999-2004, RMS kembali mencoba memakai kesempatan untuk menggalang dukungan dengan upaya-upaya provokasi, dan bertindak dengan mengatasnamakan rakyat Maluku. Beberapa aktivis RMS telah ditangkap dan diadili atas tuduhan kegiatan-kegiatan teror yang dilakukan dalam masa itu, walaupun sampai sekarang tidak ada penjelasan resmi mengenai sebab dan aktor di balik kerusuhan Ambon.
Beberapa hasil investigasi menunjukkan bahwa RMS masih eksis dan mempunyai Presiden Transisi bernama Simon Saiya. Beberapa elemen RMS yang dianggap penting ditahan di kantor Densus 88 Anti Teror.

5.Kelalaian di Kudamati
Para penari Cakalele itu bisa menerobos karena menggunakan tanda pengenal asli sebagai akses masuk.

Insiden penari Cakalele yang mengibarkan bendera Republik Maluku Selatan di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam perayaan Hari Keluarga Nasional XIV di Lapangan Merdeka, Kudamati, Ambon, (29/6), membuka mata pemerintah dan rakyat Indonesia, bahwa ide separatisme belum hilang dari Tanah Air. Aksi aktivis RMS yang menyusup sebagai penari Cakalele berbuntut pada penggeseran pejabat tinggi TNI dan Polri di daerah Maluku
Peristiwa itu bukan saja menimbulkan ketegangan antara pihak pasukan pengamanan Presiden dengan Badan Intelijen Negara (BIN), namun juga sekaligus menandai kelalaian pengamanan terhadap kepala negara.
Hasil temuan sementara tim evaluasi atas kasus ini menyebutkan, kesalahan disebabkan kurang koordinasi antara bagian acara dengan pengamanan. Pasalnya, tarian Cakalele tidak dijadwalkan sebelumnya.
Diduga ada pihak panitia yang terlibat. Polisi tengah mencari siapa panitia yang memberikan tanda pengenal sebagai akses masuk kepada para penari itu. Karena tanda pengenal yang mereka punyai itu ternyata asli.
Pengamanan seorang presiden ditangani oleh badan pelaksana tingkat pusat yang bernama Pasukan Pengamanan Presiden atau Paspampres yang Markas Komando-nya ada di Jalan Tanah Abang II Jakarta Pusat. Pasukan ini terbagi atas tiga kelompok atau grup yaitu Grup I adalah untuk pengamanan presiden dan keluarga, Grup 2 untuk mengamanan wakil presiden serta Grup 3 adalah untuk mengawal tamu-tamu negara baik presiden maupun perdana menteri.
Namun, pada dasarnya kegiatan mereka bersifat rahasia karena melakukan operasi militer nonperang. Kegiatan mereka baru terasa oleh umum jika jalan-jalan ditutup karena ada presiden atau wakil presiden yang akan melewati jalan tertentu.
Sementara itu, jika presiden atau wapres akan menghadiri acara di satu tempat umum baik yang tertutup seperti gedung atau tempat terbuka seperti lapangan maka kehadiran prajurit-prajurit Paspampres baru terlihat terutama karena mereka harus memeriksa semua pengunjung dengan menggunakan alat metal detector untuk mengetahui apakah seseorang itu membawa senjata tajam atau tidak.
Maka jika terjadi kasus bobolnya sistem pengamanan presiden atau wakil presiden seperti yang terjadi di Lapangan Merdeka Ambon justru di depan Presiden Yudhoyono sendiri maka perlu dipertanyakan sejauh mana kemampuan Paspampres dan seluruh petugas militer dan Polri yang ikut terlibat dalam menjaga keamanan Presiden dan rombongannya.
Kegiatan pengamanan bagi presiden dan wakil presiden tidak hanya dilakukan secara fisik dengan mengerahkan pasukan berseragam dan bersenjata lengkap tapi juga melalui operasi intelejen untuk mendeteksi ada tidaknya upaya untuk mengganggu atau menghambat kehadiran orang nomor satu dan dua di negara itu.
Para penanggung jawab keamanan bisa saja berdalih bahwa karena keterbatasan mereka maka tidak mungkin dilakukan operasi intelijen dan pengamanan terbuka secara besar-besaran.
Soal pengamanan kepala negara, mungkin Indonesia bisa belajar dari pasukan pengamanan kepala negara di beberapa negara lainnya. Meski demikian, mereka juga bukannya tidak pernah kecolongan. Dalam sejarah Amerika Serikat, beberapa presidennya mengalami beberapa kali pembunuhan dan upaya pembunuhan. Sejarah juga menunjukkan telah terjadi pembunuhan atau upaya pembunuhan terhadap Perdana Menteri India Indira Gandhi serta Presiden Mesir Anwar Sadat di tempat terbuka.
Seandainya di Lapangan Merdeka Ambon salah satu penari itu melemparkan tombak tajam, menembakan senjata api atau sekadar melempar batu ke arah Presiden Yudhoyono, dampaknya lebih buruk dari sekarang. RH (Berita Indonesia 43)
Kasus Kelalaian Pasukan
Pengamanan Presiden

5 September 1975
Presiden AS Gerald Rudolph Ford, Jr, mengalami dua kali upaya pembunuhan namun tidak terluka. Percobaan pembunuhan pertama terjadi pada tanggal 5 September 1975 di Sacramento, California. Lynette Fromme, pengikut Charles Mason mengarahkan pistol Colt 45 ke Ford, namun tidak berhasil membunuhnya. Fromme dipenjara seumur hidup.
Pada 22 September 1975, Sara Jane Moore mencoba membunuh Ford saat dia sedang mengunjungi San Fransisco. Usahanya gagal. Satu orang terluka kena tembakan, dan Moore dipenjara seumur hidup.
30 Maret 1981
Presiden AS Ronald Reagan. Pada tanggal 30 Maret 1981, dia dan sekretaris persnya James Brady serta dua orang lagi diserang dengan tembakan oleh John Hinckley Jr. Paru-paru kiri Reagan tertembus peluru, namun dia selamat.
6 Oktober 1981
Presiden Mesir Anwar Sadat tewas ditembak dalam sebuah parade militer oleh perwira militer yang tergabung dalam kelompok Jihad Islam Mesir. Dia dibunuh karena dianggap mengkhianati Islam dan dunia Arab dengan menandatangani perjanjian Camp David, sebuah perjanjian damai dengan Israel. Pelakunya adalah Khalid Islambuli. Dia dan sejumlah perwira militer dijatuhi hukuman mati.
31 Oktober 1983
Perdana Menteri India Indira Gandhi dibunuh oleh dua orang pengawalnya, Satwant Singh dan Beant Singh di taman kediamannya, saat ia hendak menghadiri wawancara dengan Peter Ustinov, aktor Inggris.
Kedua pembunuh Gandhi itu diidentifikasi sebagai pengikut aliran Sikh. Mereka membunuh Gandhi karena mengeluarkan instruksi penyerangan terhadap Kuil Emas milik para pengikut Sikh di negara bagian Punjab.
Desember 2003
Presiden Pakistan Jenderal Pervez Musharraf selamat dari dua upaya pembunuhan di Rawalpindi, dekat Islamabad. Tersangka diduga terkait Al-Qaeda. Musharraf akan dibunuh karena mendukung perang melawan teroris yang dipimpin AS.
Serangan kedua di wilayah yang sama saat pengebom bunuh diri menabrakan mobil penuh bahan peledak ke konvoi Presiden. Serangan ini menewaskan 15 orang.
10 Mei 2005
Presiden AS George W. Bush saat berpidato di Georgia, sebuah granat dilemparkan oleh Vladimir Arutian ke arah podium dimana Bush dan Presiden Georgia Mikhail Saakashvilii duduk. Granat itu jatuh di tengah kerumunan namun tidak meledak. Arutian ditangkap pada bulan Juli 2005 dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
18 September 2006
Presiden interim Somalia Abdullahi Yusuf Ahmad nyaris tewas dalam insiden ledakan bom. Dua bom berdaya ledak tinggi meledak beberapa saat setelah presiden meninggalkan gedung parlemen di Baidoa. Sedikitnya 11 orang tewas, termasuk adik Abdullahi.
Tangan Asing di Bumi Pertiwi
Peran negara-negara asing dalam mendorong ketidakstabilan di beberapa provinsi di Indonesia hampir tak bisa ditutupi. OPM mengibarkan bendera Bintang Kejora saat kongres Masyarakat Adat PapuaDalam Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua beberapa waktu lalu, dihasilkan tiga butir kesepakatan yang jelas-jelas berbau separatis. Ketiga butir kesepakatan itu adalah, Papua bebas dari penjajahan, mengembalikan hak-hak dasar, dan meneruskan perjuangan rakyat Papua.
Dalam konferensi yang menobatkan Forkorus Yoboisembut sebagai Ketua Dewan Adat Papua yang menggantikan Tom Beanel itu, juga mengemuka tuntutan referendum dan proklamasi kemerdekaan Papua.
Niat menggelar referendum itu bukan yang pertama kali. Pada konferensi pertama tahun 2002, usulan itu juga dimunculkan. Menurut Direktur Ridep Institute, Muradi, isu referendum selalu laku dijual ke pihak asing, terutama Amerika Serikat (AS).
Dalam meredam potensi separatisme, sebagian upaya pemerintah sebenarnya sudah lumayan berhasil. Tetapi kemudian mencuat menjadi gejolak ke permukaan karena faktor kekuatan asing. Di Papua, fakta peran Amerika Serikat dalam mendorong ketidakstabilan provinsi itu hampir tak bisa ditutupi, yang secara terbuka melakukan intervensi seperti kunjungan anggota Kongres AS pertengahan Juli ini yang mengungkit masalah Papua. AS jelas memiliki kepentingan agar bisa mengeruk kekayaan Papua. Demikian pula dalam kasus bendera RMS baru-baru ini di Ambon, faktor kekuatan asing atau Belanda banyak disebut terlibat.
Seperti diketahui, AS sudah lama mengincar Papua untuk dijadikan pangkalan militer baru, menggantikan pangkalan Clark dan Subic di Filipina yang sudah lama ditinggalkan. Tentu saja Pemerintah Indonesia menolak, dan itu tidak bisa ditawar lagi.
Nah, jika sampai terjadi referendum dan Papua merdeka, AS berpeluang mewujudkan pangkalan impiannya di Papua. Faktanya pada 2005, Kongres AS mengesahkan House Representative 2601 atau Undang-Undang Nomor 2601 mengenai Papua. Isinya mendukung kemerdekaan Papua, mempertanyakan keabsahan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, dan mengkritik pelaksanaan otonomi khusus di Papua.
Kini, setelah isu referendum kembali mengemuka, seorang anggota Kongres yang ikut menggolkan HR 2601, Eni Faleomavaega, menyempatkan berkunjung ke Indonesia, 4-6 Juli lalu. Ketua Sub-Komisi Wilayah Asia Pasifik ini tadinya berniat secara khusus bertandang ke Papua.
Namun, Pemerintah Indonesia tidak memberi izin. Kendati demikian, Faleomavaega dipertemukan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wapres Jusuf Kalla, Ketua DPR Agung Laksono dan sejumlah anggota DPR Komisi Pertahanan dan Luar Negeri, dalam beberapa kesempatan terpisah.
Menurut Gubernur Lemhanas yang juga mantan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Muladi, ada tiga cara menghadapi separatisme. Pertama secara represif yuridis, yakni dengan penegakan hukum yang memperhatikan HAM. Kedua, pemerintah juga harus memperhatikan rasa keadilan sosial di wilayah yang dilanda aksi separatisme untuk mengetahui masalah dasar yang menjadi penyebab kasus tersebut terjadi. Ketiga, dia juga menyarankan, pentingnya pendekatan budaya kepada para tokoh-tokoh di berbagai daerah, termasuk yang dilanda kecenderungan aksi separatisme.
Dalam pandangannya, gerakan-gerakan separatisme tersebut sangat berbahaya jika memiliki jaringan internasional, memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang andal dan dana yang kuat, serta adanya organisasi yang hirarkis secara baik. RH (Berita Indonesia 43)

Artikel Terkait:

0 comments:

Posting Komentar