Total cerpen di baca: 2313
Total kata dlm cerpen: 829
Tanggal cerpen diinput: Wed, 7 Oct 2009 Jam cerpen diinput: 8:35 PM
6 Komentar cerpen Baru kali ini aku tidak bergairah menyetir mobil. Biasanya tiada hari di jalanan yang aku lewatkan tanpa mengebut. Tapi hari ini pikiranku sedang melayang. Tak begitu kuperhatikan kendaraan lain yang saling ribut memenuhi hamparan aspal panas yang panjang ini. Semuanya samar. Aku merasa seperti siput yang bergerak di antara kelinci-kelinci bermotor. Begitu pelan, namun tidak dengan pikiranku. Kulirik sekilas bungkusan di jok sebelah. Sekadar memastikan bahwa ia masih di sana. Bukannya aku takut ia jatuh, aku hanya sayang pada usaha pramuniaga toko yang tadi bersusah payah merapikannya sedemikian rupa untukku. Tidak, sebenarnya untuk kakakku. Kado itu sudah kusiapkan untuk kakakku. Semoga ia suka. Dan semoga ia cepat tobat. Kutarik nafas lagi. Berusaha menghilangkan bayangan wanita itu. Berharap kemarin aku hanya salah lihat. Ya, semoga ia memang bukan kekasih kakakku yang sebenarnya. Semoga saja mereka hanya berteman biasa. Aku tersenyum kecut. Aku sedang tidak cemburu, kan? Ya, aku bukannya cemburu. Memang awalnya mungkin aku cemburu. Tapi sekarang, aku lebih dari cemburu. Teringat pertemuan kami seminggu lalu di sebuah restoran. Kakakku berkata bahwa ia ingin memperkenalkan seseorang kepadaku. Seseorang yang sangat berarti baginya. Ia ingin aku mengenalnya dahulu sebelum orang tua kami. Bagiku ini sesuatu yang spesial. Tentu saja aku ikut senang. Inilah kali pertama kakakku mempunyai hubungan yang lebih intim dengan seseorang. Namun kegembiraanku langsung hilang tatkala aku melihat teman kakakku. Sebenarnya dia tidak aneh. Setidaknya dia juga manusia normal seperti kami. Bahkan bisa dibilang ia sangat menawan. Dia tinggi semampai. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya panjang hitam lurus. Matanya bening dengan bulu yang lentik. Bibirnya merah merekah. Lehernya jenjang berlingkarkan kalung emas ringan. Pakaiannya rapi dengan kemeja merah muda dibalut blazer merah hati dan rok span warna senada. Tidak ada yang menghiasi tangannya kecuali gelang jam perak dan cincin emas polos yang tersemat di jari kelingking kirinya. Tidak begitu glamour. Namun tampak elegan dengan cara berdirinya yang begitu anggun. Tipe wanita sempurna idaman lelaki. Secara fisik. “Devon, kenalkan, ini Marisa teman kakak,” ujar kakakku sumringah saat wanita itu tiba di meja kami. Kujabat tangan itu. Tangan yang begitu kukenal. Tangan yang begitu hangat dan lembut. “Tidak perlu, Kak. Kami sudah saling kenal,” sahutku dengan pandangan yang masih terpaut dengan mata Marisa, teman kuliahku.“Oh, ya?”“Kami satu jurusan. Maaf Devon, aku tidak tahu kalau dia kakakmu.”Tentu saja Marisa. Kamu harus minta maaf karena sudah mengecewakanku. “Kak, kakak tidak boleh berhubungan lagi dengan Marisa,” protesku saat kami sudah tiba di rumah. Melanjutkan debat sengit sewaktu di mobil.“Memangnya kenapa? Kakak punya hak untuk berteman dengan siapa saja, kan?”“Tapi jangan dengan dia,” bantahku. Dan itu bukan sekadar ‘berteman’, Kak.“Kenapa? Kamu juga suka dengan Marisa? Hah? Kalau kamu suka, kenapa tidak mengatakannya dari dulu? Oh, ya. Tentu saja. Karena kamu pengecut! Dan Marisa sudah pasti tidak akan menyukaimu.” Aku tersentak. Aku bukan pengecut. Tapi kata-kata yang terakhir itu benar-benar aku pahami sekarang. Kenapa Marisa selalu mngacuhkanku. Kenapa dia selalu menghindar dariku. Karena dia memang benar-benar tidak menyukaiku.“Ayolah, Devon. Cobalah terima kenyataan ini. Tidak ada wanita lain yang bisa mendamaikan hati kakak selain Marisa.” Suara kakakku sedikit merendah. “Kakak tidak ingin kita ribut karena merebutkan wanita yang sama. Kakak tidak ingin merusak persaudaraan kita hanya karena masalah wanita. Jadi, kakak harap kamu bisa menghargai keputusan kakak.”Keputusan yang salah. Keputusan terburuk dalam hidupmu, Kak. Aku tidak habis pikir dengan ini semua. Aku sudah kehabisan kata untuk meyakinkan kakakku bahwa pilihannya salah. Aku bukannya cemburu, Kak. Tapi, please… jangan Marisa. Jangan wanita itu. Kuhentikan mobil di luar halaman. Sebuah sedan merah dengan cat modifikasi gambar api menghalangi jalanku menuju garasi. Aku belum pernah melihat mobil itu sebelumnya di sini. Mungkinkah itu mobil teman kakak yang akan merayakan ulang tahunnya di rumah? Kenapa cuma ada satu? Apa teman-temannya yang lain belum datang? Apa mereka semua datang bersama satu mobil? Tapi mobil siapapun itu, aku mengutuknya karena telah mengambil tempat parkirku. Kenapa kakak tidak menyuruh temannya untuk parkir di luar saja. Bukankah ia tamu. Aku melangkah keluar mobil dengan sebungkus kado berpita biru, warna kesukaan kakakku. Kado itu sedikit basah sekarang. Meskipun aku baru saja memegangnya. Kutepuk-tepukkan sebentar tanganku yang berkeringat tiba-tiba itu ke celana jinsku karena tidak sempat mengeluarkan sapu tangan. Aku begitu penasaran dengan si empunya mobil ini. Entah kenapa perasaanku mendadak terasa jadi tidak enak.Cepat-cepat aku masuk ke rumah. Sepi. Ternyata pestanya belum dimulai. Kulirik jam tangan, masih setengah jam lagi. Tentu saja. Di sini pasti tidak ada siapa-siapa lagi kecuali aku, kakak, dan si tamu. Aku merasa tergugah untuk segera menjumpai si tamu. Ia pasti sedang bersama kakak. Kunaiki tangga dua tiga tapak sekaligus. Dan kulihat pintu kamar kakak yang terbuka sedikit di ujung lorong. Dengan tidak segan dan perasaan sedikit marah, kutarik daun pintu itu dengan takut. “Devon!” suara kakakku begitu terkejut. Bibirnya yang bertautan sangat mesra dengan bibir seorang wanita itu segera terlepas.
“Kak Ayu!? Marisa!?”









0 comments:
Posting Komentar