Total cerpen di baca: 2288
Total kata dlm cerpen: 882
Tanggal cerpen diinput: Sun, 4 Oct 2009 Jam cerpen diinput: 6:42 PM
3 Komentar cerpen Awan gelap menghiasi kota ini semenjak aku tiba...Kala itu hujan belum turun dan hari sudah sore tapi aku belum pernah bisa beranjak dari tempat pemberhentian bus. Jurusanku belum lewat, aku masih belum bisa pulang. Rasanya hari itu dingin sekali, aku bisa melihat uap keluar dari mulutku saat aku bernafas. Padahal aku sudah memakai mantel yang sangat tebal. Dingin... Aku ingin pulang ke rumah...
"...Aku mendengarmu..."
Suara itu muncul dari dalam benakku. Aku tidak menghiraukannya.
"...Aku mendengarmu... Kau ingin melakukannya 'kan?"
Suara itu semakin jelas. Aku masih belum mengerti.
"...Kau ingin melakukannya bukan? Kau ingin darah? Kau ingin lambung dan otak mereka bukan? Kau ingin setiap organ dalam tubuh mereka dicabut, 'kan?"
"Tidak..."
"...Kau ingin melihatnya bukan? Melihat mereka merintih dalam kesakitan!? Melihat mereka menjerit ketakutan!? Melihat mereka mati perlahan-lahan!?"
"Tidak!"
"Kau ingin semuanya berakhir... Iya, 'kan? Kota ini? Penduduknya? Merekalah yang bersalah!! Merekalah yang harusnya mati!! Bukannya dia..."
"TIDAK!!! DIAM KAU!!!!"
Aku terbangun dari lamunanku, atau dari pengaruh ketidaksadaranku oleh karena bunyi bus yang mendekat dan klaksonnya yang lebih nyaring kalau kudengar 1 meter dari tempatku berdiri. Aku masih kaget dengan kejadian tadi. Nafasku menjadi pendek, dadaku sesak dan tulang-tulang di bahuku terasa mau copot.
"Err... Pak? Anda mau naik?", kata supir bus itu.
"Ah? Oh, iya. Ke distrik 59, bukan?", kataku sambil mencoba memperbaiki pola nafasku.
"Ya, tentu saja, silakan naik."
"Terima kasih."
Aku masuk ke dalam bus dan duduk di pojok belakang kanan. Di sana aku kembali merenungkan tentang apa yang terjadi barusan. Itu adalah suara dia... DIJD, begitulah aku memanggil alter-ego-ku. Dia muncul saat aku masih bekerja di kepolisian kota Earlingdale. Dia muncul setelah kematian kepala kepolisian, ayahku, oleh seorang penjahat yang lepas sebelum diinterogasi. Yang lebih parah lagi insiden tersebut terjadi dihadapanku.
"Nak... Jangan berhenti..."
Kupikir aku akan lupa soal ucapannya di saat terakhir ia menghembuskan nafas setelah pisau tajam menghujam perutnya. Bersamaan dengan kejadian itu, DIJD, muncul. Ia mengendalikan pikiran dan tubuhku. Aku langsung mengambil revolver ayah yang berada di balik jas ayah dan menembak penjahat yang lari itu di kepala hingga kepalanya pecah dan otaknya bertebaran ke mana-mana. Itu terjadi di koridor utama di gedung tingkat pertama dan darahnya seperti cat yang bercipratan ke mana-mana. Kejadian itu memang terjadi 7 tahun yang lalu, tapi aku masih ingat bahwa aku tersenyum... Lalu aku pingsan. Itulah pertama kalinya aku mengambil nyawa orang... dengan senang hati.
Dan setelah itu, DIJD selalu muncul dalam benakku sampai sekarang. Ia sering memberikan tanggapan aneh dan tidak diperlukan dalam setiap kasus yang kuhadapi. Entah itu keinginan membunuh atau menyiksa orang demi mendapat jawaban yang pasti. Namun, hal ini sudah keterlaluan. Aku sudah berhenti dari kepolisian tapi ia masih mengusikku. Entah apa salahku hingga ia tidak mau lepas dari pikiranku. Lepas dari renunganku, aku sudah sampai. Distrik 59 memang tempat yang sangat sepi tapi nyaman untuk ditinggali. Akupun berjalan menyebrangi jalan yang ada di depanku. Apartemen kecil bertingkat dua terlihat dengan jelas walau langit masih kelabu. Aku mengambil kunci di dalam kantung jas dan naik ke lantai 2.
"Hei, nak!", sapa seorang yang sudah tua dari sebelah kananku.
"Ah, Pak Tsurugi. Lama tak berjumpa." balas sapaku.
"Hehehe... Kau nampak makin kurus saja. Lain kali aku akan mentraktirmu makan sepuasnya!", kata kakek itu dengan penuh semangat.
"Ya, saya akan sangat menantinya.", kataku dengan senyum hambar sambil membuka pintu kamar apartemenku.Ya, dia tidak pernah tahu tentang diriku yan sebenarnya makanya ia tetap mau berbicara denganku. Aku pun masuk ke dalam.Entah sudah berapa ratus kali aku masuk ke dalam, kamarku selalu begini. Kosong dan polos. Tidak ada hiasan di dinding. Yang lebih menyedihkan, tidak ada orang yang menungguku di sini. Pacarku meninggalkanku saat aku berhenti dari kepolisian. Jadi, inilah aku terdiam di tengah ruangan yang kosong.
"...Kau ingin melakukannya, 'kan? Kau ingin dan semakin menginginkannya bukan?"
"..."
"Bunuh!! Bunuh!! BUNUH!!"
"Tidak..."
"Semuanya hilang, 'kan? Ayahmu mati, pacarmu meninggalkanmu, tak ada lagi yang peduli padamu!"
"Itu... tidak benar..."
"Tidak benar katamu!? Memang siapa penyebab semua ini? Hah!? Kau sudah mengetahuinya bukan!? Hidupmu hancur karena seseorang melepaskan penjahat yang seharusnya dipenjara! Ia dilepas karena kurang bukti? Persetan semua itu! Itu semua salah kota ini yang membiarkannya hidup begitu saja! Semua juri mengatakan tidak bersalah!? Ya! Makan saja kotoran itu! Dasar penghisap darah! Hanya dengan segelintir uang saja membuat orang mengatakan saksi dusta!? Dasar mahluk tidak punya harga diri! 90% penduduk mendukung lepasnya 'si pencabik'!? Omong kosong! Dan apa yang mereka katakan setelah semua itu terjadi? Ohh... penjahat memang pantas mendapatkannya! Mereka sampah! Sampah! Mereka seharusnya dibuang ke dalam neraka! Semuanya! Seluruh kota ini!!!"
"CUKUP!!! HENTIKAN!!!"
Ia kembali menghilang... Sampai kapan aku akan terus begini? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa?Aku mungkin lemah, tapi tak ada yang bisa menahan keinginan ini selain diriku sendiri. Ya, aku tidak boleh kalah. Meskipun aku hampir gila, aku tidak boleh menyerah. Nasibku dan orang-orang di kota ini tergantung padaku. Hanya aku yang mampu menahan pembunuh ini. Setelah pergumulan itu, aku melihat keluar jendela. Langit gelap kemudian menurunkan hujan yang lebat. Bunyi gemercik hujan menghiasi sepanjang malam. Akupun tertidur dengan lelap. Esok aku harus kembali melakukan tugasku... membunuh mereka yang membunuh ayahku...
Hmhmhmhmhm... apa besok langit akan kembali biru? ~End~









0 comments:
Posting Komentar